Jumat, 18 Mei 2012

Taubatnya Seorang Pelacur


Ini semua karena keegoisan orang tuaku. Waktu itu mereka hendak menikahkanku dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang. Mereka akan melangsungkan acara sakral itu setelah kelulusan SMAku. Namun, aku memberontak karena aku tidak mencintai pemuda anak orang kaya itu. Mana mungkin aku mencintanya kalau bau kulitnya yang khas itu selalu menyergap hidungku. Aku tidak suka lelaki berbadan tengik. Karena perkataan orang tuaku yang setiap hari selalu menyisakan goresan luka di hati, aku putuskan untuk hengkang dari kehidupan mereka. Mungkin hal demikian yang mereka inginkan kala itu. Entah seperti apa tangis mereka setelah mengetahui anak perempuannya menghilang tanpa pesan.
Aku tidak peduli seperti apa perasaan mereka. Yang menjadi pertanyaan sedih hanya tujuan kepergianku yang tanpa arah. Terkadang aku menangis dalam bis yang kutumpangi dan terkadang bahagia karena pdrkataan pedih yang akan terucap dari kedua orang tuaku tidak akan terdengar lagi di telinga. Akhirnya sampailah bis yang kutumpangi di sebuah terminal yang tidak kukenal namanya. Melihat beberapa penumpang beringsut turun, aku pun ikut turun. Waktu itu matahari telah terbenam. Sambil memegang air mineral yang kubeli, aku pun berjalan menuju tempat duduk. Di sana kebingunganku semakin lengkap terasa. Entah kemana kaki ini harus melangkah. Aku tidak tahu. Tak lama kemudian dalam ketermenunganku yang membingungkan, tiba-tiba seorang perempuan sebayaku duduk di sampingku. Kepadanya kutanyakan kota yang telah kupijaki ini. Ia menjawabnya kota malang. Setelah itu aku tidak banyak bicara, karena ia segera berlalu dari sampingku untuk melanjutkan perjalanannya.
Malam itu kuputuskan untuk tetap di terminal karena aku takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi padaku. Seorang pedagang asongan yang sejak tadi melihatku mulai memasang wajah bertanya-tanya lalu mendekatiku. Entah mengapa setelah ia mendengar ceritaku, ia meneteskan air mata dan mengajakku untuk tinggal bersama. Aku tidak mau. Aku tahu bila ikut dengannya akan menambah beban hidupnya. Mungkin ia memang berhati mulia, sekali tak berhasil ia pun kembali mengajakku. Lagi-lagi aku menolaknya sambil berterima kasih. Karena tidak berhasil membujukku ia kemudian berlalu menjajakan dagangannya pada orang-orang yang baru keluar dari bis sambil mengamatiku dari jauh dengan wajah penuh iba.
Karena lelah dan rasa kantuk yang tak tertahankan, aku pun tertidur dalam duduk. Sesekali aku dibangunkan oleh anggukan kepalaku yang begitu kuat lalu lelap kembali. Entah berapa jam aku tertidur di tempat itu. Setelah terjaga di pagi hari yang kurasa hanya sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Aku benar-benar menderita malam itu.
Setelah matahari merangkak naik, aku mulai menyusuri jalanan mengikuti kehendak hati. Ketika malam datang ketakutan kembali menyergapku. Terus terang aku memang takut malam. Karena di malam hari kejahatan selalu saja terjadi. Maka dari itu aku harus berhati-hati. Dengan susah payah akhirnya aku menemukan tempat berteduh, sebuah toko kecil yang telah lama dilupakan oleh pemiliknya. Sudah kurasakan hidupku seperti gelandangan. Namun, aku tidak menangisi perjalanan yang menyedihkan ini. Karena bila dibandingkan dengan perkataan orang tuaku yang begitu menyayat kalbu, kesedihan ini tidak begitu berarti.
Lima hari kemudian persedianku habis. Aku semakin terlunta-lunta. Tiga hari aku tidak makan. Hanya minum air yang mengalir di sungai yang tak terjamin kesehatannya. Tubuhku mulai lemas dan yang aku lakukan hanya bermenung seorang diri. Pada saat itulah seorang perempuan lebih tua setahun dariku mendekati kesendirianku. Ia bagai malaikat yang diutus untuk menyelamatkan jiwaku yang mulai dibayangi kematian. Setelah kuceritakan kisah sedihku, ia menangis dan langsung memelukku. Dalam tangisnya ia menjelaskan padaku bahwa perjalanan hidupnya tak jauh berbeda dengan kisah pilu yang kualami. Ia diusir oleh orang tuanya karena tidak mau menikahi seorang lelaki yang merupakan pemannya sendiri.
Setelah ia tumpahkan seluruh kesedihannya, ia langsung membimbing tanganku ke rumah kostnya. Di sana aku dirawat sampai kondisiku benar-benar pulih. Dan memberi tahukan namanya padaku, Mery. Nama yang indah. Tanpa segan aku langsung mengatakan mbak padanya. Lewat ceritanya aku pun tahu bahwa mbak Mery kuliah di salah satu Universitas Fakultas bahasa Inggris. Namun, aku belum tahu profesi pekerjaannya. Melihat mbak Mery yang sepertinya akan memperoleh pencerahan ilmu sebagai pegangan masa depan, aku pun ingin seperti dia. Yaitu kuliah, namun di bidang yang berbeda. Tapi darimana akan memperoleh biayanya. Sedangkan biaya hidup setiap hariku bergantung pada mbak Mery. Aku mulai dilanda kebingungan.
Di suatu hari aku pun tahu kalau mbak Mery memperoleh biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari karena mengabdikan diri sebagai perempuan malam. Namun, ia tidak mengajakku ke dunia gelapnya bahkan ia melarangku. Cukup dia yang terjerumus ke lembah kenistaan itu katanya. Namun, aku juga ingin mengenyam pendidikan seperti dia. Tapi ia tetap bersikukuh melarangku. Ia jelaskan bahwa menjadi seorang pelacur harus tahan malu, harus tahan pada cacian siapapun. Namun, setalah merenung lebih dalam tekadku bulat untuk mengikuti jejak profesinya. Karena aku tahu dengan pekerjaanku menjadi seorang karyawati toko yang gajinya tidak seberapa, tidak akan pernah mengantarkanku pada sebuah cita-cita yang kuinginkan. Dengan bahasa sedih yang kurangkai pada mbak Mery, akhirnya ia mau membawaku ke dunianya. Aku mulai diajari cara-cara jitu agar konsumen merasa terkesan dengan usaha kerjaku dan tak menutup kemungkinan konsumen yang merasa puas dengan layananku akan memintaku kembali di suatu hari nanti.
Dengan profesi yang cukup gampang memperoleh uang walau dengan hati perih terhina, akhirnya cita-citaku tercapai. Aku mendaftar di sebuah fakultas psikologi dan aku diterima. Lama-kelamaan aku pun merindukan kedua orang tuaku yang entah seperti apa wajah mereka saat itu. Setelah semester tujuh aku kabarkan pada mereka dengan bahagia bahwa aku telah kuliah dan hampir menghadapi skripsi. Namun, tanggapan mereka sangat pahit terasa. Lebih baik aku mati dari pada menjadi seorang anak yang tak tahu di untung katanya. Apalah arti kedua orang tua kalau tidak mau mendengarkan suara hati kecilku. Perjalanan hidupku serasa tersiksa dan sia-sia. Kerinduanku yang menggebu tatkala lenyap setelah mendengar perkataan pahit keduanya. Tak seorangpun yang peduli padaku kecuali mbak Mery yang dengan kesetiaannya selalu siap mendengarkan curahan hatiku.
Hari-hari kujalani dengan senyuman indah di bibir walau sebenarnya hati luka berdarah. Hingga tibalah hari wisuda yang kutunggu-tunggu. Walau telah kukabarkan jauh sebelumnya pada kedua orang tuaku tentang hari wisudaku, namun di momen yang penting itu tak satupun di antara mereka mengatakan selamat padaku. Mereka tidak datang seolah tidak gembira atas kelulusanku. Aku semakin merasa melangkah dalam kehampaan. Aku pun merasa menyesal menjadi seorang pelacur. Apalah arti sebuah gelar menyertai di belakang namaku kalau di peroleh dari jalan yang nesta. Di situlah kehancuran jiwaku semakin nyata. Apalagi kedua orang tuaku telah benar-benar mencampakkanku dari kasih sayangnya. Dan aku mulai bertekad untuk meningalkan profesiku dan beralih pada profesi baru yang sehat, namun benteng tekadku tidak begitu kukuh. Terkadang aku masih menjamu lelaki hidung belang yang memintaku. Rasanya sulit bagiku meninggalkan profesi yang telah mendarah daging itu. Aku pun frustasi. Kenapa tidak dicabut saja nyawaku?.
Di suatu sore mata hatiku benar-benar terbuka setelah mendengar ceramah seorang kiai. Dalam cerahnya ia berkata, “Bahwa orang-orang yang tidak berakidah dalam hidupnya tidak berbeda dengan bangkai berjalan dan kelak Allah akan membakarnya di api neraka.” Mendengar ceramahnya yang sangat menggugah, hatiku serasa sesak. Aku menangis sejadi-jadinya karena aku merasa diri ini bukanlah lagi manusia melainkan bangkai hidup yang berkeliaran di atas bumi. Maka aku mengutuk atas kelakuanku sendiri dan bersumpah tidak akan kembali lagi ke dunia itu. Dan aku mulai mendekatkan diri pada Allah. Di malam yang buta aku selalu bersujud pada-Nya meminta ampunan atas dosa-dosaku. Ketenangan jiwa benar-benar terasa setelah aku sering bercumbu dengan-Nya.
Sebulan kemudian mbak Mery pun merasa terpanggil untuk melakukan kebajikan dan meninggalkan profesinya setelah ia didekati oleh seorang pemuda jebolan pesantren. Perlahan-lahan hubungan mereka semakin dekat dan akhirnya keduanya menikah. Dalam doaku yang penuh rintihan dan tetesan air mata, aku selalu meminta pada Allah untuk dibukakan mata hati kedua orang tuaku. Ternyata Allah mendengar rintihan tangis doaku. Seminggu kemudian kabar bahagia kuperoleh lewat dering teleponku. Kedua orang tuaku memintaku untuk kembali ke pangkuannya. Mereka telah menyesal melakukan tindakan keliru. Aku pun pulang dengan rasa bangga dan bahagia yang tak terkira. Begitulah cerita liku-liku kehidupanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar