Ini semua karena
keegoisan orang tuaku. Waktu itu mereka hendak menikahkanku dengan seorang
pemuda yang berasal dari keluarga terpandang. Mereka akan melangsungkan acara
sakral itu setelah kelulusan SMAku. Namun, aku memberontak karena aku tidak
mencintai pemuda anak orang kaya itu. Mana mungkin aku mencintanya kalau bau
kulitnya yang khas itu selalu menyergap hidungku. Aku tidak suka lelaki
berbadan tengik. Karena perkataan orang tuaku yang setiap hari selalu
menyisakan goresan luka di hati, aku putuskan untuk hengkang dari kehidupan
mereka. Mungkin hal demikian yang mereka inginkan kala itu. Entah seperti apa
tangis mereka setelah mengetahui anak perempuannya menghilang tanpa pesan.
Aku tidak peduli
seperti apa perasaan mereka. Yang menjadi pertanyaan sedih hanya tujuan
kepergianku yang tanpa arah. Terkadang aku menangis dalam bis yang kutumpangi
dan terkadang bahagia karena pdrkataan pedih yang akan terucap dari kedua orang
tuaku tidak akan terdengar lagi di telinga. Akhirnya sampailah bis yang
kutumpangi di sebuah terminal yang tidak kukenal namanya. Melihat beberapa
penumpang beringsut turun, aku pun ikut turun. Waktu itu matahari telah
terbenam. Sambil memegang air mineral yang kubeli, aku pun berjalan menuju
tempat duduk. Di sana kebingunganku semakin lengkap terasa. Entah kemana kaki
ini harus melangkah. Aku tidak tahu. Tak lama kemudian dalam ketermenunganku
yang membingungkan, tiba-tiba seorang perempuan sebayaku duduk di sampingku.
Kepadanya kutanyakan kota yang telah kupijaki ini. Ia menjawabnya kota malang.
Setelah itu aku tidak banyak bicara, karena ia segera berlalu dari sampingku
untuk melanjutkan perjalanannya.
Malam itu kuputuskan
untuk tetap di terminal karena aku takut sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi
padaku. Seorang pedagang asongan yang sejak tadi melihatku mulai memasang wajah
bertanya-tanya lalu mendekatiku. Entah mengapa setelah ia mendengar ceritaku,
ia meneteskan air mata dan mengajakku untuk tinggal bersama. Aku tidak mau. Aku
tahu bila ikut dengannya akan menambah beban hidupnya. Mungkin ia memang
berhati mulia, sekali tak berhasil ia pun kembali mengajakku. Lagi-lagi aku
menolaknya sambil berterima kasih. Karena tidak berhasil membujukku ia kemudian
berlalu menjajakan dagangannya pada orang-orang yang baru keluar dari bis
sambil mengamatiku dari jauh dengan wajah penuh iba.
Karena lelah dan rasa
kantuk yang tak tertahankan, aku pun tertidur dalam duduk. Sesekali aku
dibangunkan oleh anggukan kepalaku yang begitu kuat lalu lelap kembali. Entah
berapa jam aku tertidur di tempat itu. Setelah terjaga di pagi hari yang kurasa
hanya sakit yang menjalar di sekujur tubuh. Aku benar-benar menderita malam
itu.
Setelah matahari
merangkak naik, aku mulai menyusuri jalanan mengikuti kehendak hati. Ketika
malam datang ketakutan kembali menyergapku. Terus terang aku memang takut
malam. Karena di malam hari kejahatan selalu saja terjadi. Maka dari itu aku
harus berhati-hati. Dengan susah payah akhirnya aku menemukan tempat berteduh,
sebuah toko kecil yang telah lama dilupakan oleh pemiliknya. Sudah kurasakan
hidupku seperti gelandangan. Namun, aku tidak menangisi perjalanan yang menyedihkan
ini. Karena bila dibandingkan dengan perkataan orang tuaku yang begitu menyayat
kalbu, kesedihan ini tidak begitu berarti.
Lima hari kemudian
persedianku habis. Aku semakin terlunta-lunta. Tiga hari aku tidak makan. Hanya
minum air yang mengalir di sungai yang tak terjamin kesehatannya. Tubuhku mulai
lemas dan yang aku lakukan hanya bermenung seorang diri. Pada saat itulah
seorang perempuan lebih tua setahun dariku mendekati kesendirianku. Ia bagai
malaikat yang diutus untuk menyelamatkan jiwaku yang mulai dibayangi kematian. Setelah
kuceritakan kisah sedihku, ia menangis dan langsung memelukku. Dalam tangisnya
ia menjelaskan padaku bahwa perjalanan hidupnya tak jauh berbeda dengan kisah
pilu yang kualami. Ia diusir oleh orang tuanya karena tidak mau menikahi
seorang lelaki yang merupakan pemannya sendiri.
Setelah ia tumpahkan
seluruh kesedihannya, ia langsung membimbing tanganku ke rumah kostnya. Di sana
aku dirawat sampai kondisiku benar-benar pulih. Dan memberi tahukan namanya
padaku, Mery. Nama yang indah. Tanpa segan aku langsung mengatakan mbak
padanya. Lewat ceritanya aku pun tahu bahwa mbak Mery kuliah di salah satu
Universitas Fakultas bahasa Inggris. Namun, aku belum tahu profesi
pekerjaannya. Melihat mbak Mery yang sepertinya akan memperoleh pencerahan ilmu
sebagai pegangan masa depan, aku pun ingin seperti dia. Yaitu kuliah, namun di
bidang yang berbeda. Tapi darimana akan memperoleh biayanya. Sedangkan biaya
hidup setiap hariku bergantung pada mbak Mery. Aku mulai dilanda kebingungan.
Di suatu hari aku pun
tahu kalau mbak Mery memperoleh biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari karena
mengabdikan diri sebagai perempuan malam. Namun, ia tidak mengajakku ke dunia
gelapnya bahkan ia melarangku. Cukup dia yang terjerumus ke lembah kenistaan
itu katanya. Namun, aku juga ingin mengenyam pendidikan seperti dia. Tapi ia
tetap bersikukuh melarangku. Ia jelaskan bahwa menjadi seorang pelacur harus
tahan malu, harus tahan pada cacian siapapun. Namun, setalah merenung lebih
dalam tekadku bulat untuk mengikuti jejak profesinya. Karena aku tahu dengan
pekerjaanku menjadi seorang karyawati toko yang gajinya tidak seberapa, tidak
akan pernah mengantarkanku pada sebuah cita-cita yang kuinginkan. Dengan bahasa
sedih yang kurangkai pada mbak Mery, akhirnya
ia mau membawaku ke dunianya. Aku mulai diajari cara-cara jitu agar konsumen
merasa terkesan dengan usaha kerjaku dan tak menutup kemungkinan konsumen yang
merasa puas dengan layananku akan memintaku kembali di suatu hari nanti.
Dengan profesi yang
cukup gampang memperoleh uang walau dengan hati perih terhina, akhirnya
cita-citaku tercapai. Aku mendaftar di sebuah fakultas psikologi dan aku diterima. Lama-kelamaan
aku pun merindukan kedua orang tuaku yang entah seperti apa wajah mereka saat
itu. Setelah semester tujuh aku kabarkan pada mereka dengan bahagia bahwa aku
telah kuliah dan hampir menghadapi skripsi. Namun, tanggapan mereka sangat
pahit terasa. Lebih baik aku mati dari pada menjadi seorang anak yang tak tahu
di untung katanya. Apalah arti kedua orang tua kalau tidak mau mendengarkan
suara hati kecilku. Perjalanan hidupku serasa tersiksa dan sia-sia. Kerinduanku
yang menggebu tatkala lenyap setelah mendengar perkataan pahit keduanya. Tak
seorangpun yang peduli padaku kecuali mbak Mery yang dengan kesetiaannya selalu
siap mendengarkan curahan hatiku.
Hari-hari kujalani
dengan senyuman indah di bibir walau sebenarnya hati luka berdarah. Hingga
tibalah hari wisuda yang kutunggu-tunggu. Walau telah kukabarkan jauh
sebelumnya pada kedua orang tuaku tentang hari wisudaku, namun di momen yang
penting itu tak satupun di antara mereka mengatakan selamat padaku. Mereka
tidak datang seolah tidak gembira atas kelulusanku. Aku semakin merasa
melangkah dalam kehampaan. Aku pun merasa menyesal menjadi seorang pelacur.
Apalah arti sebuah gelar menyertai di belakang namaku kalau di peroleh dari
jalan yang nesta. Di situlah kehancuran jiwaku semakin nyata. Apalagi kedua
orang tuaku telah benar-benar mencampakkanku dari kasih sayangnya. Dan aku
mulai bertekad untuk meningalkan profesiku dan beralih pada profesi baru yang
sehat, namun benteng tekadku tidak begitu kukuh. Terkadang aku masih menjamu
lelaki hidung belang yang memintaku. Rasanya sulit bagiku meninggalkan profesi
yang telah mendarah daging itu. Aku pun frustasi. Kenapa tidak dicabut saja
nyawaku?.
Di suatu sore mata
hatiku benar-benar terbuka setelah mendengar ceramah seorang kiai. Dalam
cerahnya ia berkata, “Bahwa orang-orang yang tidak berakidah dalam hidupnya tidak
berbeda dengan bangkai berjalan dan kelak Allah akan membakarnya di api
neraka.” Mendengar ceramahnya yang sangat menggugah, hatiku serasa sesak. Aku
menangis sejadi-jadinya karena aku merasa diri ini bukanlah lagi manusia
melainkan bangkai hidup yang berkeliaran di atas bumi. Maka aku mengutuk atas
kelakuanku sendiri dan bersumpah tidak akan kembali lagi ke dunia itu. Dan aku
mulai mendekatkan diri pada Allah. Di malam yang buta aku selalu bersujud
pada-Nya meminta ampunan atas dosa-dosaku. Ketenangan jiwa benar-benar terasa
setelah aku sering bercumbu dengan-Nya.
Sebulan kemudian mbak
Mery pun merasa terpanggil untuk melakukan kebajikan dan meninggalkan
profesinya setelah ia didekati oleh seorang pemuda jebolan pesantren. Perlahan-lahan
hubungan mereka semakin dekat dan akhirnya keduanya menikah. Dalam doaku yang
penuh rintihan dan tetesan air mata, aku selalu meminta pada Allah untuk
dibukakan mata hati kedua orang tuaku. Ternyata Allah mendengar rintihan tangis
doaku. Seminggu kemudian kabar bahagia kuperoleh lewat dering teleponku. Kedua
orang tuaku memintaku untuk kembali ke pangkuannya. Mereka telah menyesal
melakukan tindakan keliru. Aku pun pulang dengan rasa bangga dan bahagia yang
tak terkira. Begitulah cerita liku-liku kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar